DELAPAN
JAM BERTUMPU DIATAS KAKI
By: Islamuddin Syam
Sekitar pukul 10:22,
kami tiba di perkampungan. Entah apa nama kampung itu. Di sana Pak Akmal nampak
masih melepas lelah bersama beberapa anak. Kami pun bergabung dengan mereka.
Saling berbagi air minum dan sedikit mengabadikan perjalanan.
Setelah isterahat sejenak, kami kembali melanjutkan
perjalanan. Kali ini lebih ramai, sekitar 20-an orang bersama saya dan Pak
Akmal. Jalan kami yang lalui berbatu dan agak lebar, tetapi masih menanjak. Di
sisi kanan dan kiri nampak rumah-rumah penduduk berdiri menghadap jalan.
“Pak kita sudah hampir sampai di SD yang dari kampung
cuma nampak atapnya.” Kata Angli.
“Iya pak, disitu ada rumah mereka Bu Elen juga.” Sambung
yang lainnya.
Obrolan-obrolan
ringan menghiasi langkah kami. Langkah yang terus kami kayuh menapak setiap
jengkal jalan dihadapan kami.Hinggatampa terasa kami sudah tiba di depan SD
yang diceritakan Angli tadi, di kampung Lengor. Disana nampak Pak Erlin, Pak
Tamsil, Pak Feliks dan Pak Toby beserta anak-anak yang lainnya.
Pukul
10:46 tepat kami semua berkumpul di halaman sekolah itu. Sedikit bercakap
dengan guru yang ada. Anak-anak SD kelihatan mengintip dari balik jendela
kelas. Mereka kelihatan berbisik-bisik satu sama lain. Mungkin heran melihat
orang banyak dengan tas yang besar di punggung.
Saya
duduk telentang di bawah pohon mangga di halaman sekolah itu. Melihat kedepan
bersama beberapa anak. Memandang jauh membelah barisan pegunungan. Bertanya
dalam hati, “dimanakah dusun kami?” Semua tertutup kabut.
Tak
pernah kusangka akan melakukan perjalanan seperti ini bersama mereka.
Perjalanan yang menguras tenaga. Kadang merasa tak mampu, namun harus tetap
terlihat kuat dan semangat didepan mereka. Agar semangat mereka juga tetap
berkobar. Don’t give up and never give up.
Lagu kemenangan hati Dirly mengalun di head
set-ku.
“Ayo
istrahatnya cukup. Sekarang sudah hampir jam 11, kita lanjut sekarang dan makan
siang di tower” Kata Pak Erlin membuyarkan lamunanku.
Sekarang
kami bersiap kembali untuk melanjutkan perjalanan. Anak-anak kembali memikul
tas mereka masing-masing. Ada juga yang berbagi air minum untuk bekal dijalan.
Seorang anak menawarkan untuk membawa tas bawaan saya.
“Baik
sudah, kita tukaran tas saja. Kelihatannya tas kamu lebih ringan.” Kataku
Kami
pun melanjutkan perjalanan melewati kebun belakang sekolah tadi. Menembus jalan
yang berbatu. Kami menelusuri jalan berbatu itu yang nampaknya biasa di lalui
mobil truk. Jalan yang kami lalui sekarang sedikit menurun. Tepat di sisi kiri
berdiri kokoh kaki pegunungan. Sedangkan di sisi kanan, tepat di pinggir jalan
menganga lebar jurang yang dalam.
Langkah
kami terus berlanjut hingga kami tiba di sebuah perkampungan. Perkampungan ini
cukup ramai. Hingga membuatku berpikir,”koq ada yah, yang mau tinggal jauh-jauh
diatas sini?” Di sini ada kios kecil, saya dan beberapa anak belanja sedikit
cemilan kecil. Untuk menemani perjalanan kedepan. Oh yah, ada juga siswa yang
sempat beli sendal. Katanya untuk dipakai nanti di Lengko Elar, kota Kecamatan.
Setelah
berjalan kembali beberapa menit. Kami menemukan pancuran air. Anak-anak pun
berlomba-lomba meneguk air di pancuran itu. Beberapa orang juga mengisi botol
mereka.
Kami
terus berjalan. Matahari terus beranjak naik. Semakin terik membakar setip
jejak langkah kami. Sekarang saya berjalan dengan tiga orang siswa saja. Yang
lainnya sudah jauh di depan dan yang lainnya lagi masih berada di belakang
kami. Kami berempat terus berjalan, sambil menikmati cemilan yang dibeli tadi.
Memang jalannya sudah agak rata, sehingga bisa sedikit lebih santai.
Tiba-tiba
ponsel saya berdering. Ternyata dari Pak Erlin. Katanya jika dapat cabang
didepan, kami harus belok kiri. Kami memang semakin dekat dengan tower,
sehingga sinyal ponsel full.
“Wah,
itu belokannya pak.” Kata Elan sambil menunjuk.
Kami
berbelok, ternyata jalan yang kami hadapi menanjak. Dan tower sudah terlihat
semakin dekat. Kami terus melangkah. Hingga salah satu siswa yang saya temani
mengeluh.
“Aduh
Pak, saya tidak kuat lagi, Pak duluan saja dengan mereka Rinda dan Elan. Biar
saya tunggu mereka yang dibelakang saja.” Keluh Grein
“Ayolah,
semangat! Sudah hampir sampai koq, nanti di atas kita istrahat.”
“Olee... mo gereng mereka le’. Nggita tikolo
Grein.” Kata Elan
“Saya
su tidak kuat kah Pak.” Balas Grein
“Baik
Sudah, kita isterahat disini dulu sambil menunggu teman yang dibelakang.”
Kataku
“Kasihan
Grein kalau sendiri di sini, nanti di culik sama cowok rebaz.”
“Grein
seh bersyukur kalau diculik cowok rebaz pak.”
Kata Elan sambil tersenyum.
Kami
pun isterahat disitu, sambil menikmati mi sedaap goreng mentah. Tetapi agak
lama menunggu, teman yang dibelakang belum muncul juga. Akhirnya kami
melanjutkan perjalanan setelah Grein sudah menyatakan sanggup untuk lanjut.
Tower
semakin di depan mata seiring dengan semakin menanjaknya jalan yang kami lalui.
Tampak dari kejauhan beberapa anak sudah ada disekitar tower. Merek melambaikan
tangan dari jauh. Membuat kami semakin semangat untuk melangkah. Melangkah,
melangkah dan terus melangkah. Hingga akhirnya kami sampai juga di tower.
Sekitar
pukul 12:13 kami pun menikmati bekal yang kami bawa. Suasana hangat kebersamaan
yang tak terlupakan. Makan bersama di puncak tertinggi, menikmati makanan yang
sangat-sangat sederhana. Namun semuanya terasa sangat lezat. Tak pernah rasanya
menikmati makanan sedamai ini. Beberapa anak menawarkan bekal yang mereka bawa.
Jujur, melihat bekal mereka membuat dadaku sedikit agak sesak. Begitu
sederhana, namun senyum mereka tetap merekah menikmati bekalnya dengan suka
cita.
“Ya
Allah, mereka betul-betul luar biasa, mereka mengajariku banyak hal.” Gumamku
dalam hati.
***
Pukul
12:30 kami melanjutkan perjalan. Kami berjalan beriringan, tidak membentuk
kelompok-kelompok kecil lagi. Karena didepan nanti kami akan melalui hutan.
Menurut Pak Toby, jalan di depan tidak mendaki lagi. Kebanyakan jalan rata dan
menurun.
Dan
benar saja kata Pak Toby, jalan yang kami laui sekarang menurun. Ditambah lagi
dengan kondisi jalan yang sempit dan licin. Beberapa siswa harus terpeleset dan
terjatuh, termasuk saya. Dengan hati-hati kami berpegangan pada semak belukar
yang ada disamping kami untuk menuruni jalan yang licin. Agar pantat kami tidak
mendarat lagi di tanah untuk kesekian kalinya.
Melewati
jalan menurun yang licin. Kami memasuki hutan. Hutan yang lembab, sinar
matahari nampak bersusah payah untuk menembus lebatnya hutan ini. Kondisi hutan
yang lembab, jalan licin dan menurun sedikit memperlambat langkah kami. Pak
Toby mengingatkan untuk waspada terhadap binatan buas. Katanya binatang yang
sering mengganggu ular dan kera yang besar. Semakin membuat suasana menjadi
horor. Saya pun sedikit agak takut.
Keheningan
menghiasi langkah kami di tengah hutan. Kami membelah hutan dengan mulut yang
puasa bersuara. Mungkin semua lagi konsentrasi penuh menapaki setiap jengkal
hutan ini.
Setelah
lama berjalan, akhirnya sinar matahari kembali menyinari tubuh kami. Jalan yang
kami lalui sekarang berada di tanah lapang yang luas. Mulut kembali bersuara
setelah puasa tadi. Canda tawa kembali menemani langkah kami. Sesekali saya
berbalik melihat hutan yang kami lalui tadi. Ternyata luas juga.
Sekarang
kami harus kembali menurui jalan, melewati sebuah sungai kemudian kembali
berjalan di pematang sawah. Anak-anak berjalan sambil bermain, dengan mengambil
biji-bijian dan saling lempar. Kami berjalan terus hingga kini kami melintasi
perkebunan kopi milik warga. Keluar dari kebun kopi kami disambut oleh tanah
lapang.
Jauh
di tengah tanah lapang ada tempat penampungan air. Air mengalir sangat deras
dari penampungan itu. Tampa aba-aba, anak-anak berlarian ke sana melepas dahaga
mereka. Mereka minum dengan puas. Saya pun tidak ketinggalan, segera
tenggorokan saya aliri dengan air itu. Dan ternyata sangat segar, asli dingin.
Menuruku lebih segar dari air mineral bermerek yang beredar dipasaran.
Nikmatnya.
Ternyata
tidak jauh dari tempat kami berada sekarang, ada perkampungan. Kampung Ledug,
di sana juga ada rekan SM-3T. Rencananya kami ingin melepas lelah di sana.
Akhirnya
perjalanan pun kami lanjutkan setelah puas menikmati air segar tadi. Kami
memasuki kampung Ledug. Banyak warga yang nampak keheranaan melihat kami
melintasi kampung itu. Dan setelah bertanya pada salah seorang warga, kami pun
menemukan tempat tinggal rekan kami itu.
Mereka
rencananya akan ke Lengko Elar juga. Jadi kami jalan bersama. Menurutnya Lengko
Elar sudah tidak jauh dari situ. Kami pun senmakin semangat melangkah,
membayangkan diri sudah sampai di rumah Pak Toby. Ingin segera rasanya merebahkan
badan yang sudah lelah tingkat tinggi.
Dari
Ledug kami berjalan melewati jalan yang menurun. Melintasi sungai dan kembali
mendaki. Tapi kondisi jalan yang kami lalui berbeda dari yang sebelumnya.
Jalanan cenderung lebar dan bagus. Sehingga tidak terlalu bersusah payah untuk
melintasinya.
Setelah
berjalan kurang lebih dua jam, akhirnya kami sampai di rumah Pak Toby. Tampa
pikir panjang saya langsung merebahkan badan saya diatas tikar di ikuti
beberapa siswa.
“Pak,
jangan di situ kah, di ranjang saja. Biar anak-anak saja yang di situ.” Tawar
Mama Rolyn istri pak Toby.
“Biar
saja. Yang penting bisa baring dulu bu.” Jawabku.
Tidak
lama, satu per satu siswa sudah sampai di rumah ini juga, beserta mereka pak
bertiga, Pak Akmal, Pak Tamsil, dan Pak Feliks. Saya dan beberapa anak tiba
duluan karena kami melalui jalan potong.
Kami
semua tiba di rumah Pak Toby sekitar pukul 16:27. Anak-anak banyak yang baring
telentang. Mereka kelelahan, nampak jelas terpancar dari wajahnya. Kasihan,
mereka harus menempuh perjalanan yang lama seperti ini demi mengharumkan nama
sekolah. Mereka begitu kuat berbeda dengan anak-anak yang kukenal di kampung
halamanku. Entah apa yang terjadi kalau mereka yang mengalami perjalanan sejauh
ini, pikirku dalam hati.
Setelah
isterahat, saya dan beberapa anak laki-laki pergi mandi di sungai yang tidak
jauh dari rumah itu. Kami kembali dari sungai dan tiba kembali di rumah sekitar
pukul 18:30. Saya kaget begitu tiba di rumah, empat orang siswi kami kesurupan
di rumah sebelah. Ada yang berteriak karena berhalusinasi kakinya di lilit ular
besar, ada juga yang menjerit karena berhalusinasi di ikuti kakek tua,
sedangkan dua orang lainnya menangis menjerit-jerit . Panik, takut dan pikiran negatif
menggerogotiku. Saya angkat tangan untuk masalah yang satu ini.
Mungkin
mereka kelelahan atau bagaimana. Entahlah!
Ini
hanya sederet kisah kami, ketika melakukan perjalanan ke Lengko Elar. Kisah
yang tak seindah pelangi namun kisah ini tak akan lekan oleh waktu dan akan
tetap menjadi cerita.
***
·
Olee...
mo gereng mereka le’. Nggita tikolo: Waduh...tidak usah
menunggu mereka. Kita duluan saja
·
Rebaz:
Ganteng
No comments:
Post a Comment